Senin, 23 Februari 2009

Lebih dari sekedar uacapan Terima kasih

Postingan kali ini bukan membahas kembali tentang cara saya dalam berterima kasih, Bukan juga tentang konsep saling memberi dan saling menerima. Bahasan sebuah motivasi dan keteladanan dalam hidup. Mari kita simak sebuah cerita pada suatu senja di kota Surabaya.
Seorang anak merengek minta dibelikan jagung bakar saat diajak bermain di wilayah kodam Surabaya. Dengan sedikit enggan ibunya mengulurkan selembar uang lima ribuan dan mengawasinya saat sang anak melihat proses jagung dibakar. Lalu si anak dengan tekun mengikuti gerak-gerik nenek tua penjual jagung bakar memainkan kipas bambunya.
Mata kanak-kanaknya membulat terheran-heran pada pletikan biji jagung yang dibakar dengan arang, asap, serta harum yang tertebar kesekitarnya. Sedangkan nenek tua berpakaian lusuh itu tersenyum melirik anak kecil yang jongkok di sebelahnya. Mata tuanya meredup melayang entah kemana. Sesekali dicubitnya pipi anak itu yang memang menggemaskan.
Kemudian diberikannya jagung bakar itu pada anak yang sedari tadi berharap-harap takjub, katanya, "Ambil saja buatmu nak. Tak usah dibayar." Si ibu mengucapkan terima kasih lalu berkata pada sang ayah, "Lumayan, kita dapat rejeki satu jagung bakar" Lalu mereka meninggalkan Pasar malam Kodam itu dengan kendaraan roda empat mereka.
Tunggu dulu wahai ibu! Mengapa kau menyebutnya sebagai rejeki? Bukankah dengan demikian si nenek tua itu malah kehilangan sebagian penghasilannya yang tak seberapa? Tidakkah kau terpanggil untuk membalas pemberian itu dengan sesuatu yang lebih dari sekedar kata terima kasih? Memang, menerima selalu menyenangkan. Namun, memberi dengan sikap tulus lebih membahagiakan. Tahukah kau, wahai ibu, hati nenek tua itu sangat terang, jauh lebih terang dari lampu yang menerangi temaram senja itu.
Bagaimana menurut pendapat anda dengan kejadian itu? Kalau mau jujur kita ingin seperti siapa? Dan saat ini kita masih sebagai Si Ibu atau Sang Nenek Tua?
Jadi malu kalau bercermin pada kisah diatas.